PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerbau
(Bubalus bubalis) adalah ruminansia
besar yang mempunyai potensitinggi dalam penyediaan daging.Peranan ternak
kerbau cukup signifikandalam menunjang program swasembada daging sapi (termasuk
kerbau)tahun 2014 (Ditkeswan 2012).Revitalisasi peternakan kerbau harus
dilakukan dalam upaya merespon RPPK dan mendukung programkecukupan daging sapi
tahun 2010, karena di beberapa wilayah, daging kerbau justru lebih disukai
danpopuler dibandingkan daging sapi.Kontribusi daging sapi dalam memasok
kebutuhan daging nasional sekitar 23%, dan sekitar 2.5% diantaranya berasal
dari daging kerbau. Hal ini berarti bahwa sekitar 10% dari totalproduksi
‘daging sapi’ berasal dari daging kerbau (Diwyanto dan Handiwirawan 2006).
Populasi
kerbau yang pada tahun 1986 sekitar 3.5 juta ekorcenderung terus menurun dan
saat ini diperkirakan populasinya kurang dari 2.5 juta ekor. Kawasan
yangmemiliki populasi kerbau cukup padat adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jawa Barat dan Banten,Sulawesi Selatan, NTT dan NTB, Jawa Tengah, Jawa
Timur serta Kalimantan Selatan. Kerbau mempunyaiperan dan fungsi sangat
strategis dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.Kerbau mempunyaikeistimewaan
tersendiri dibandingkan sapi, karena hewan ini mampu hidup di kawasan yang
relatif ‘sulit’terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat
rendah.Dewasa kelamin kerbau relatif lebih lambat,calving interval sekitar 2 tahun, dan persentase karkas relatif
lebih kecil dibandingkan sapi.
Secara
umum usaha ternak kerbau telah lama dikembangkan olehmasyarakat sebagai salah
satu mata pencaharian dalam skala usaha yangmasih relatif kecil.Usaha ternak
kerbau ini dilakukan untuk tujuan produksidaging, kulit dan tenaga
kerja.Meskipun di beberapa wilayah tertentuproduk daging kerbau sangat diminati
masyarakat, seperti di daerahSumatera Barat, Banten dan wilayah lain, namun
pada segmen pasartertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif
terbatas.Sepertidiketahui bahwa produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatifrendah,
karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yangmemerlukan pemikiran
untuk mengatasinya (Ditkeswan 2012).
Masalah
peternakan kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaantradisional,
berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotonganpejantan yang berdampak
pada kekurangan pejantan, pemotongan ternakbetina produktif, kekurangan pakan
dimusim tertentu, kematian pedet yangcukup tinggi (sekitar 10%), rendahnya daya
produktivitas, pengembangan sistem pemeliharaan semi intensif yang masih
terbatas, serta kesan negatifterhadap kerbau. Namun demikian, usaha ternak
kerbau memiliki prospekcukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa
wilayah yangmemiliki sumberdaya pakan melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya
upayapenyelamatan populasi dan pengembangannya yang dapat dilakukanmelalui
berbagai macam usaha dari berbagai pihak antara lainpemberdayaan kelompok
ternak dan penerapan teknologi tepat guna sepertiInseminasi Buatan (IB),
Intesifikasi Kawin Alam (INKA) serta program pembibitan lainnya (Ditkeswan
2012).
Rumusan Masalah
Populasi
ternak kerbau di Indonesia tidakmengalami peningkatan berarti dalam
beberapatahun terakhir ini dan perkembangan ternak kerbau relatif lebihlambat.
Rumusan masalah
pada makalah ini yaitu :
1. Bagaimana masalah pengembangan kerbau di
Indonesia ditinjau dari segi reproduksi?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah
pengembangan kerbau di Indonesia?
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
dan Ciri Umum Ternak Kerbau
Kerbau
adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae
yang berkembang
di banyak bagian
dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasiatau water bufallo yang ada pada saat ini
berasal dari spesies Bubalus arnee.Spesieskerbau
lainnya yang masih liar adalah B.
mindorensis, B. depressicornisdan B.
cafer (Hasinah dan Handiwirawan 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub
spesies yaitukerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua
tipe yaitu kerbaurawa (swamp buffalo)
dan kerbau sungai (river buffalo).Klasifikasi
ternak kerbau (Storer et al 1971)
sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Kelas : Mamalia
Sub-kelas : Ungulata
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminansia
Famili
: Bovidae
Genus
: Bubalus
Spesies
: Bubalus
bubalis Linn.
Kerbau
merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan Utara
tropika (Deptan 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkandalam dua
tipe, yaitu: swamp bufallodan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa)tipe habitatnya adalah area daerah rawa
yang tempat berkubangnya di lumpur,sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih
sukaberenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya
tipekerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil
daging (Fahimuddin 1975).
Kerbau
rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara.Kerbau ini tampaklebih liar
dibandingkan dengan kerbau tipe sungai.Fahimuddin (1975) menyatakanbahwa kerbau
rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertandukpanjang, memiliki
konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarnaabu-abu dengan
warna yang lebih cerah pada bagian kaki.Warna yang lebih terangdan menyerupai
garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher.Kerbau rawatidak pernah
berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason
1974).Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, monconglebar
dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakanbahwa
kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kgdengan
tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm.Pada umumnya kerbau rawa
merupakan jenis kerbau penghasil daging dan sering ditemukan di daerah rawa
atau berkubang pada tempat yang berlumpur. Kerbau sungai memiliki warna tubuh
hitam atau abu-abu gelap dan tanduk melingkar atau lurus memanjang ke belakang.
Kerbau
adalah hewan berdarah panas (homoioterm)
yang pusat pengaturan panas tubuhnya mulai bekerja mempertahankan panas tubuh
bila suhu lingkungan di atas atau di bawah zona nyaman. Menurut Fahimuddin
(1975), zona nyaman untuk kerbau berkisar antara 15.5oC sampai 21oC. Di atas suhu
24oC kerbau sudah mengalami
stress. Suhu lingkungan 36.5oC
merupakan batas kritis bagi mekanisme termoregulasi.Ternak kerbau merupakan
ternak semiaquatic, dimana kerbau
harus dimandikan atau berkubang untuk mendapatkan produktivitas yang
optimal.Tingkah laku kerbau yang sering berkubang dikarenakan kondisi
fisiologis kerbau yang memiliki pori-pori keringat yang lebih kecil
dibandingkan sapi.
Sifat
Biologis Reproduksi Ternak Kerbau
Kerbau mempunyai keistimewaantersendiri dibandingkan
sapi, karena ternakini mampu hidup di kawasan yang relative ‘sulit’ terutama
bila pakan yang tersediaberkualitas sangat rendah. Dalam kondisikualitas pakan
yang tersedia relatif kurangbaik, setidaknya pertumbuhan kerbau dapatmenyamai
atau justru lebih baikdibandingkan sapi, dan masih dapatberkembang biak dengan
baik.
Produktivitas kerbau dalam beberapa hallebih rendah dibandingkan sapi
terkait dengansifat-sifat biologis yang dimilikinya.Berikut merupakan data
mengenai beberapa informasi sifat biologis ternak kerbau dengan pola
pemeliharaan ekstensif (Tabel 2).
Tabel 2 Beberapa informasi sifat biologis ternak kerbau dengan pola
pemeliharaan
ekstensif
Sifat biologis
|
Keterangan
|
Umur
beranak pertama
|
3.5 – 4
tahun
|
Lama
kebuntingan
|
11 – 12
bulan
|
Jarak
beranak
|
20 – 24
bulan
|
Pertambahan
bobot badan
|
0.3 –
0.9 kg per hari
|
Presentase
karkas
|
<
50%
|
Estrus
|
Tanda-tanda
lemah dan relative tenang (silent heat)
|
Anestrus
|
Bermusim
|
Postpartum
anestrus
|
Panjang
|
Posisi
vagina
|
Bagian
depan lebih rendah dibanding belakang, waktu birahi cairan tidak keluar
|
Libido
pejantan musim kemarau
|
Menurun
drastic
|
Perkawinan
tidak terkontrol
|
Meningkatnya
inbreeding
|
Tabel 3Perbandingan
Sifat-sifat Reproduksi Kerbau Rawa dan Kerbau Murrah
Sifat-sifat
reproduksi
|
Bangsa
Kerbau
|
|
Kerbau Rawa
|
Kerbau Sungai
|
|
Umur kawin pertama (tahun)
|
2.50 (1.6 – 3.0)
|
-
|
Lama bunting (hari)
|
315 – 335
|
308 – 314
|
Umur beranak pertama (tahun)
|
4.30 (3.0 – 6.0)
|
4.00 – 4.30
|
Siklus berahi (hari)
|
20 – 28
|
22 – 37
|
Lama berahi (jam)
|
12 – 36
|
24 – 48
|
Angka kelahiran (%)
|
30 – 60
|
-
|
Selang beranak (tahun)
|
1.50 – 2.00
|
-
|
Servis perconseption *
|
1.60 – 2.00
|
1.40 – 2.10
|
Angka kebuntingan*
a. Secara alami
b. Inseminasi buatan
|
63.20
57.90
|
36.00 – 82.00
|
Sumber : Chantalakhana 1980 *) Toelihere 1981 dalam Busono (1993)
Perkembangan
Populasi Kerbau di Indonesia
FAO (2010) menyatakan jumlah kerbau di seluruhdunia
ada 158 juta ekor, 97% dari jumlah tersebut(sekitar 153 juta) berada di Asia,
sisanya tersebar diAfrika Utara, Eropa Selatan, Amerika Selatan danAustralia.
Dari populasi kerbau di Asia, 50% berada diIndia. Jumlah kerbau di Australia
saat ini sekitar350.000 yang berkembang sebagai kerbau liar diwilayah genangan
banjir di Arnhem dan Katherine danpernah diekspor ke Indonesia sekitar tahun
1980-anpadahal kerbau ini berasal dari Indonesia yangdimasukkan pada awal abad
ke-19. Kerbau liar masihada di Indonesia diantaranya di Taman NasionalBaluran.
Di Indonesia, populasi kerbau saat ini sekitar 2.2juta ekor (Ditjennak2009). Kerbau merupakansumberdaya genetik ternak
lokal yang kontribusinyadalam program swasembada daging mulai diakui padatahun
2010.Sentra-sentra produksi ternak sapi yangmenjadi andalan program PSDSK
awalnya adalahsentra-sentra produksi ternak kerbau.Introduksi sapiBali pada
akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20,menyebabkan semakin terdesaknya
perkembanganternak kerbau.Perkembangan sapi tersebut mencapaipuncak sebagai pemasok
utama ternak konsumendomestik maupun ekspor.Populasi kerbau mencapaipuncaknya
sekitar tahun 1925, dengan populasi di Jawa 3.227 juta ekor dan di luar Jawa 1.10
juta ekor.Selanjutnya, populai kerbau terus menurun sampai saatini. Sebab-sebab
penurunan populasi cukup kompleksantara lain terkait dengan daya reproduksi,
basisekologis lahan, penyakit maupun kelembagaanpengelolaannya serta dukungan
kebijakanpengembangannya.Berikut merupakan data pertumbuhan populasi kerbau di
Indonesia tahun 1925 – 2009 (Tabel 4).
Tabel 4 Pertumbuhan populasi
kerbau di Indonesia tahun 1925 – 2009
Tahun
|
Populasi Kerbau (ekor)
|
Pertumbuhan populasikerbau (%)/tahun
|
1925
|
3.227.000
|
-
|
1969
|
2.490.000
|
- 0.50
|
1979
|
2.432.000
|
- 0.23
|
1989
|
3.244.000
|
3.33
|
1999
|
2.859.000
|
- 1.19
|
2005
|
2.128.491
|
- 4.26
|
2008
|
1.930.000
|
- 3.11
|
2009
|
2.046.000
|
6.01
|
Sumber: Ditjennak 2010
PEMBAHASAN
Masalah
Pengembangan Kerbau di Indonesia
Faktor
penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di
negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau dapat disebabkan
faktor internal dan faktor eksternal.Salah satu faktor internal adalah masalah efisiensi
reproduksi dan gangguan reproduksi yang umum terjadi pada ternak ruminansia.Daya
reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untukmenghasilkan anak
selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggidisertai dengan
pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksiyang tinggi
pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bilaefisiensi
reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi.
Tinggirendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima
hal, yaitu: l)angka kebuntingan (conception
rate), 2) jarak antar melahirkan (calving
interval), 3)jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angkaperkawinan per
kebuntingan (service per conception),
dan 5) angka kelahiran(calving rate)
(Hardjopranjoto 1995).
Kendala
reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan,keterlambatan
pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnyacalving interval, dan lain-lain
(Fahimuddin 1975). Menurut Cockrill (1974), KerbauRawa mampu menghasilkan anak
10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidupsampai 25 tahun.
Pubertas.Pubertas atau dewasa kelamin dapat
didefinisikan sebagai umuratau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan
perkembangbiakan terjadi.Pubertas pada hewan jantan ditandai dengankemampuan
hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma serta perubahan-perubahankelamin sekunder lain,
sedangkan pada hewan betina ditandai denganterjadinya estrus dan ovulasi.
Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikanukuran dan berat organ reproduksi
secara cepat (Toelihere 1981).
Hasil
penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas KerbauRawa tidak
diketahui dengan pasti.Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiranpertama
yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun.Umur
konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamindengan
asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.Pubertas terjadi karena dipengaruhi
oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu : umur, bobot badan, ras dan genetik.
Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruhialah faktor lingkungan yaitu:
suhu, musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyaipengaruh besar terutama
nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkankarena dapat
mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidupproduktif ternak(Tomaszewska
et al l99l). Pada ternak kerbau, umur
pubertas yang lambat menyebabkan masa produktif tidak panjang sehingga
peningkatan populasi sulit tercapai.
Siklus berahi, lama berahi dan berahi tenang. Berahi adalah saat hewan betina bersediamenerima
pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada
berahiberikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak
menghasilkankebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi
kedua (Partodihardjo 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan
pertamasampai penolakan terakhir (McNitt 1983).Mongkopunya (1980) menjelaskan
bahwa lama berahi Kerbau Rawa adalah32 jam. Kerbau Rawa Thailand memiliki
siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipinasiklus berahi Kerbau Rawa selama
20 hari (Guzman 1980).Umumnya berahi pada kerbau terjadi pada saat menjelang malam sampai agak
malam dan menjelang pagi atau saat subuh atau lebih pagi (Toelihere 2001). Hal
ini menyebabkan sulitnya pendeteksian birahi pada kerbau.
Tanda-tanda berahi pada kerbau umumnya tidak tampak
jelas. Gejala berahi
tidakmuncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan
semiarid sertalama berahi menjadi pendek (dari 11.9 jam menjadi 6.1 jam)
(Cockrill. 1974). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi
buatan.
Umur kawin pertama.Hewan-hewan betina muda tidak boleh
dikawinkansampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa
tubuh)untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal.Hal ini karena dewasa
kelamin terjadisebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981).Umur kerbau
betina pada konsepsipertama berbeda-beda tergantung pada manajemen
pemeliharaan, penggunaan pakan,dan genetik.Umur kawin pertama Kerbau Rawa di
Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2.3 tahun (Fahimuddin 1975).Menurut
hasil penelitian Lendhanie (2005), ternakkerbau betina di Kalimantan Selatan
baru berahi pertama setelah berumur 3 tahunatau lebih lama dibanding sapi.
Angka kebuntingan.Angka kebuntingan atau conception rate
(CR) adalahpersentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin
pertama baik padasapi dara maupun pada sapi laktasi.Angka kebuntingan (CR)
ditentukan oleh tigafaktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan
teknik inseminasi.Angkakebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa
palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere 1981). Menurut
Fahimuddin (1975), conception ratedipengaruhi
oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain.Nilai
CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggidaripada
kerbau.
Lama
bunting. Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9
bulan. Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300 – 334
hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Lama bunting pada
kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja lama bunting kerbau
di Mesir bervariasi dari 325 sampai 330 hari. Tanda-tanda berahi pada kerbau,
umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto 2010). Sifat ini menyulitkan pada
pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini bisa
diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan system
pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Calf crop.Calf crop adalah persentase jumlah anak
yang dilahirkan hidupdalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika
diinginkan angka calf cropyang tinggi
maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin,nutrisi dan
pengawasan penyakit (Talib 1988). Rata-rata calf
crop kerbau diIndonesia sangat rendah yaitu 33%.
Selain masalah
efisiensi reproduksi, faktor internal lain penyebab terhambatnya perkembangan
ternak kerbau di Indoneisa adalah adanya gangguan reproduksi.Salah satu penyebab
gangguan reproduksi adalah adanya ganguan fungsional (organ reproduksi tidak
berfungsi dengan baik).Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh
adanya abnormalitas hormonal.Beberapa kasus gangguan fungsional adalah sista
ovary, hipofungsi ovary, dan corpus luteum persistent.
·
Sista
Ovarium (follikuler, luteal dan korpus luteal)
Status
ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur
berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak.Sebab dasar dari
kejadian.sistik ovari adalah kegagalan, hypofise melepaskan sejumlah
luitenizing hormon (LH), sebanyak yang dibutuhkan untuk ovulasi dan pembentukan
korpus luteum (Roberts, 1971).
Roberts
(1971) menyebutkan, sistik ovari dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: sistik
folikel atau sistik degenerasi dari folikel de Graaf, sistik luteal dan sistik
korpus luteum. Sistik folikel dan sistik luteal adalah sistik anovulatorik,
terjadi pada folikel yang belum ovulasi, sedangkan sistik korpus luteum adalah
sistik ovulatorik atau yang telah mengalami ovulasi.Sistik folikel
adalahfolikel yang berisi cairan sistik, menetap pada ovarium selama 10 hari
atau lebih, dengan.diameter lebih besar dari 2.5 cm. Tanda karakteristik
umumnya adalah nimphomania (berahi terus-menerus), tetapi kadang-kadang
dijumpai juga gejala anestrus (tidak berahi). Sistik luteal adalah sistik pada
folikel, dengan diameter lebih besar dari 2.5 cm, sebagian, terluteinisasi dan
akan menetap dalam suatu periode yang lama, umumnya ditandai dengan gejala
an,estrus. Sistikkorpus luteum terjadi mengikuti ovulasi yang normal, tatapi
mengadun,g rongga sen,tral berdiameter 7 - 10 mm dan berisi cairan sistik.
Adanya
sista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak
berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau
mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi
lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari.Akibatnya sapi –sapi
menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus).
Roberts
(1971) menyatakan, bahwa sistik folikel dan sistik luteal bersifat patologik
karena menyebabkan terganggunya proses reproduksi, konsepsi tidak berlangsung
disebabkan ovulasi tidak terjadi. Sedangkan kebanyakan sistik korpus luteum
tidak mempengaruhi konsepsi, karena ovulasi telah terjadi.Disamping i tu
tenunan luteal yang terbentuk pada sistik korpus luteum masih dapat
menghasilkan progesterone untuk menjaga dan memelihara kebuntingan.Atas dasar
ini sistik korpus luteum dinyatakan tidak patologik dan para ahli membatasi
sistik ovari pada bentuk folikuler saja.
·
Hipofungsi
ovarium
Hipofungsi ovary adalah salah satu
penyakit yang banyak timbul pada sapi perah dengan gejala klinis : anestrus,
apabila dilakuan palpasi rektal ovarium yang kurang aktif, terasa licin, tidak
ada penonjolan folikel atau korpus luteum dan ukuran ovariumnya normal.
Kemudian sekresi hormon yang dihasilkan ovarium seperti hormon progesteron dan
estrogen sangat rendah, sehingga mengakibatkan tidak terjadinya berahi dan
kopulasi (Sirojudin 2000). Ternak yang memiliki riwayat dari peternak tidak
pernah estrus dan saat dilakukan palpasi teraba folikel yang kecil serta licin,
maka akan ditangani sebagai kasus hipofungsi ovarium.
Hipofungsi ovarium mungkin adalah
penyebab utama kegagalan reproduksi pada sapi perah apabila ditinjau dari
produksi susu yang tinggi dan kondisi pakan yang buruk (Pemayun 2009). Menurut
Hafez (2000), anestrus akibat hipofungsi ovarium sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel
folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun
kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi
hipotalamus-pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi
gonadotropin sehingga tidak ada
aktivitas ovarium setelah melahirkan.
Kasus hipofungsi ovarium umumnya
disebabkan oleh kualitas pakan yang rendah sehingga tidak ada rangsangan
aktivitas terhadap ovarium. Kekurangan
vitamin A dan mineral yang penting seperti P dan Mn serta protein dapat
menyebabkan pubertas sapi menjadi lambat dan melemahnya gejala berahi atau sama
sekali tidak berahi. Selain faktor genetis dan keadaan stress penyakit kronis
juga dapat memicu terjadinya kasus ini (Subronto 1985).
·
Korpus
Luteum Persistent
Korpus
luteum persistent adalah kondisi dimana korpus luteum yang mempunyai ukuran
yang besar tetap menetap dan berfungsi menghasilkan progesterone dalam waktu
yang lama.Tertahannya korpus luteum seringkali terjadi karena adanya penyakit
atau gangguan pada uterus seperti pyometra, maserasi fetus dan mumifikasi
fetus. Ternak yang menderita korpus
luteum persistent mempunyai kadar progesterone yang tinggi didalam darah. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya
mekanisme feedback negative terhadap kelenjar hipofisa anterior sehingga sekresi
hormone FSH dan LH dihambat sehingga tidak terjadi pertumbuhan folikel pada
ovarium tidak tumbuhnya folikel baru pada oarium menyebabkan tidak dapat
disekresikannya hormone estrogen sehingga terjadi kondisi anestrus (Listiani 2005).
Upaya Mengatasi Problematika
Pengembangan Ternak Kerbau
Banyak
faktor yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas
kerbau. Namun yang bisa dilakukan melalui efisiensi reproduksi adalah:
1.
Melakukan
seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan, terutama pada
kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor
betina dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang
genetikanya baik. Pada saat ini justru kerbau betina atau jantan yang
tampilannya lebih besar adalah yang paling cepat masuk rumah potong. Peran
pemerintah disini melakukan penjaringan agar fenomena yang sudah lama terjadi
ini bisa dihentikan minimal dikurangi.
2.
Mengembangkan
program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya. Penerapan
inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk mengatasi
terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat dipertanggungjawabkan
(Subiyanto2010) Peran pemerintah harus mengaktifkan kembali produksi mani beku
kerbau di Balai-Balai Inseminasi Buatan. Dengan Inseminasi Buatan juga dapat
mencegah terjadinya kawin silang dalam.
3.
Peningkatan
pendidikan inseminator. Inseminator Buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah.
Untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang
saat berahinya sulit diamati. Meskipun demikian bila kita mau kita bisa.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa tahun yang lalu pada sapi potong,
yang pada saat itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi potong karena
sapi potong terutama sapi lokal juga memperlihatkan berahi tenang. Pada saat
ini dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para inseminator,
inseminasi buatan pada sapi potong sudah biasa dilakukan dengan prestasi yang
baik.
4.
Meningkatkat
jumlah tenaga medic veterinerterkait
pendeteksian serta pengobatan beberapa gangguan fungsional organ reproduksi.
5.
Memberikan
penyuluhan kepada masyarakat terutama peternakan mengenai pengetahuan tentang
pendeteksian gejala estrus atau birahi pada ternaknya.
KESIMPULAN
Pengembangan
ternak kerbau di Indonesia mengalami hambatan dikarenakan oleh beberapa sebab.
Ditinjau dari aspek reproduksi, hambatan pengembangan tersebut dapat dilihat
dari masalah efisiensi reproduksi dan gangguan reproduksi yang umum terjadi
pada ternak ruminansia yaitu
1.
Waktu
pubertas, lama birahi, birahi tenang, umur kawin pertama, angka kebuntingan,
lama bunting dan calf crop dari aspek
efisiensi reproduksi
2.
Sista
ovari, hipofungsi ovary dan korpus luteum persisten dari aspek gangguan
fungional organ reproduksi.
Upaya
yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan pengembangan ternak kerbau di
Indonesia adalah sebagai berikut;
1.
Melakukan
seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan.
2.
Mengembangkan
program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya.
3.
Peningkatan
pendidikan inseminator.
4.
Meningkatkat
jumlah tenaga medic veteriner.
5.
Memberikan
penyuluhan kepada peternakan mengenai pengetahuan tentang pendeteksian gejala
estrus.
DAFTAR
PUSTAKA
Busono W. 1993. Pengaruh beban kerja dan pakan tambahan
terhadap perubahan bobot badan dan beberapa aktifitas reproduksi kerbau lumpur
betina (Bubalus bubalis). Disertasi.
Program Pasca sarjana IPB, Bogor
Chantalakhana C
. 1981. A Scope on buffalo breeding.
Buffalo Buletin. 4(4):224-
242.
Cockrill W.
1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo: The BuffalO of
Indonesia. Food and Agriculture Organization of The United Nations,Rome.
Departemen
Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan,Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2008.
DirektoratJenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Informasi Lokasi PSDSK.
HumasDirektorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan . 2010. Petunjuk Teknis
PengembanganPembibitan Kerbau. Direktorat Perbibitan DirektoratJenderal
Peternakan, Jakarta.
[Ditkeswan] Direktorat Jenderal Peternakandan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman
TeknisPengembangan Perbibitan KerbauTahun 2012. Jakarta
Diwyanto K, H. Handiwirawan. 2006. Strategi pengembangan
ternak kerbau:
Aspek penjaringan dan
distribusi.Prosiding lokakarya nasional usaha ternakkerbau mendukung program
kecukupan daging sapi.Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.
Fahimuddin M.
1975. Domestic Water Buffalo.Oxford and IBH Publishing. Co. GG Joupath, New
Delhi.
FAO. 2010. Food and Agriculture Organization of the UnitedNation (FAO)
& 2008 Production Year book.
Guzman MR. 1980. An overview of recent development in buffalo research
andmanagement in Asia. Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC,Taipei.
Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in
Farm Animals”.Hafez ( 7 th
ed.). Lippincott William & Wilkins.A Wolter Kluwer Company.
Hardjopranjoto S. 1991. Permasalahan reproduksi pada sapi potong.
Prosidingseminar nasional sapi potong di Indonesia. Dewan Pimpinan
PusatPerhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau lndonesia, Bandar Lampung.
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press,Surabaya.
Hasinah H, Handiwirawan. 2006.
Keragaman ganetik ternak kerbau diIndonesia. Prosiding lokakarya nasional usaha
ternak kerbau mendukungprogram kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan
PengembanganPeternakan, Bogor.
Keman S. 2006. Reproduksi Ternak
Kerbau. Menyongsong Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010. Pros. Orasi dan
Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas 2006. Fakultas Peternakan, Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta
Lendhanie U U. 2005. Karakteristik reproduksi kerbau rawa dalam
kondisilingkungan peternakan rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2
No 1.Januari:43-48.
Listiani D. 2005. Pemberian PGF2α
Pada Sapi Peranakan Ongole Yang Mengalami Gangguan Kospus Luteum Persistent
[Tesis] Program Studi Magister Ilmu Ternak Proogram Pasca Sarjana Fakultas
Peternakan, Universitas Diponegoro
Mason I L. 1974.
Species, types and breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The
Husbandry and Health of Domestic
Buffalo. Food and AgricultureOrganization of The United Nations, Rome.
McNitt. 1983. Livestock Husbandry Techniques. Granada Publishing, New York.
Mongkopunya K. 1980. Reproductive Failures in Swamp Buffaloes in
Thailand.Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC, Taipei.
Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran
VeterinerInstitut Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta.
Pemayun TGO. 2009. Induksi estrus dengan PMSG dan GNRH pada sapi
perah anestrus postpartum. [terhubung berkala]. http://www.bulletinveteriner.com. [25 Sepetember 2013]
Sirojudin
D. 2000. Teknik massage ovary dan penggunaan potahormon pada kasus hipofungsi
ovarium sapi perah. [abstrak]. Program Sarjana.Institut Pertanian Bogor.
Subiyanto. 2010. Populasi Kerbau Semakin Menurun. [Terhubung berkala] http:/www.ditjennak.go.id/bulletin/artikel3.pdf
[02 Desember 2013]
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit
Ternak I. Gadjahmada University Press, Jogyakarta
Storer T, Robert
C, Ftebruf, Robert L, Usang, James W, Nybaken. 1971.General Zoology. Mc Grewhill Book Company, New York.
Talib C. 1988. Produksi induk Sapi PO dan keturunannya. Tesis.
FakultasPascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere MR. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere MR. 2001. Potensi dan pengembangan kerbau di Indonesia. Suatu
tinjauan reproduksi. Workshop kebijakan ketahanan pangan kerbau sebagai sumber
keanekaragaman protein hewani. Kerjasama Puslitbang Peternakan dan Dinas Pertanian Peternakan Provinsi Banten,
Cilegon.
Tomaszewska MW, IK Sutama, IG Putu, Thamrin DC. 1991.Reproduksi, Tingkah
Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT GramediaPustaka Utama Jakarta.