Peternakan

Peternakan
Sapi

Senin, 28 April 2014

Kendala Pengembangan Ternak Kerbau Di Tinjau Dari Aspek Reproduksi


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensitinggi dalam penyediaan daging.Peranan ternak kerbau cukup signifikandalam menunjang program swasembada daging sapi (termasuk kerbau)tahun 2014 (Ditkeswan 2012).Revitalisasi peternakan kerbau harus dilakukan dalam upaya merespon RPPK dan mendukung programkecukupan daging sapi tahun 2010, karena di beberapa wilayah, daging kerbau justru lebih disukai danpopuler dibandingkan daging sapi.Kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan daging nasional sekitar 23%, dan sekitar 2.5% diantaranya berasal dari daging kerbau. Hal ini berarti bahwa sekitar 10% dari totalproduksi ‘daging sapi’ berasal dari daging kerbau (Diwyanto dan Handiwirawan 2006).
Populasi kerbau yang pada tahun 1986 sekitar 3.5 juta ekorcenderung terus menurun dan saat ini diperkirakan populasinya kurang dari 2.5 juta ekor. Kawasan yangmemiliki populasi kerbau cukup padat adalah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Banten,Sulawesi Selatan, NTT dan NTB, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Kalimantan Selatan. Kerbau mempunyaiperan dan fungsi sangat strategis dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.Kerbau mempunyaikeistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena hewan ini mampu hidup di kawasan yang relatif ‘sulit’terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah.Dewasa kelamin kerbau relatif lebih lambat,calving interval sekitar 2 tahun, dan persentase karkas relatif lebih kecil dibandingkan sapi.
Secara umum usaha ternak kerbau telah lama dikembangkan olehmasyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yangmasih relatif kecil.Usaha ternak kerbau ini dilakukan untuk tujuan produksidaging, kulit dan tenaga kerja.Meskipun di beberapa wilayah tertentuproduk daging kerbau sangat diminati masyarakat, seperti di daerahSumatera Barat, Banten dan wilayah lain, namun pada segmen pasartertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif terbatas.Sepertidiketahui bahwa produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatifrendah, karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yangmemerlukan pemikiran untuk mengatasinya (Ditkeswan 2012).
Masalah peternakan kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaantradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotonganpejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternakbetina produktif, kekurangan pakan dimusim tertentu, kematian pedet yangcukup tinggi (sekitar 10%), rendahnya daya produktivitas, pengembangan sistem pemeliharaan semi intensif yang masih terbatas, serta kesan negatifterhadap kerbau. Namun demikian, usaha ternak kerbau memiliki prospekcukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa wilayah yangmemiliki sumberdaya pakan melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya upayapenyelamatan populasi dan pengembangannya yang dapat dilakukanmelalui berbagai macam usaha dari berbagai pihak antara lainpemberdayaan kelompok ternak dan penerapan teknologi tepat guna sepertiInseminasi Buatan (IB), Intesifikasi Kawin Alam (INKA) serta program pembibitan lainnya (Ditkeswan 2012).

Rumusan Masalah
Populasi ternak kerbau di Indonesia tidakmengalami peningkatan berarti dalam beberapatahun terakhir ini dan perkembangan ternak kerbau relatif lebihlambat.
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1.      Bagaimana masalah pengembangan kerbau di Indonesia ditinjau dari segi reproduksi?
2.      Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah pengembangan kerbau di Indonesia?


TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Ciri Umum Ternak Kerbau
Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang
di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasiatau water bufallo yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee.Spesieskerbau lainnya yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornisdan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitukerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbaurawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo).Klasifikasi ternak kerbau (Storer et al 1971) sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Kelas        : Mamalia
Sub-kelas  : Ungulata
Ordo         : Artiodactyla
Sub-ordo  : Ruminansia
Famili       : Bovidae
Genus       : Bubalus
Spesies     : Bubalus bubalis Linn.



Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan Utara tropika (Deptan 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkandalam dua tipe, yaitu: swamp bufallodan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa)tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur,sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih sukaberenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya tipekerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin 1975).
Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara.Kerbau ini tampaklebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai.Fahimuddin (1975) menyatakanbahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertandukpanjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarnaabu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki.Warna yang lebih terangdan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher.Kerbau rawatidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason 1974).Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, monconglebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakanbahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kgdengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm.Pada umumnya kerbau rawa merupakan jenis kerbau penghasil daging dan sering ditemukan di daerah rawa atau berkubang pada tempat yang berlumpur. Kerbau sungai memiliki warna tubuh hitam atau abu-abu gelap dan tanduk melingkar atau lurus memanjang ke belakang.
Kerbau adalah hewan berdarah panas (homoioterm) yang pusat pengaturan panas tubuhnya mulai bekerja mempertahankan panas tubuh bila suhu lingkungan di atas atau di bawah zona nyaman. Menurut Fahimuddin (1975), zona nyaman untuk kerbau berkisar antara 15.5oC sampai 21oC. Di atas suhu 24oC kerbau  sudah mengalami stress. Suhu lingkungan 36.5oC merupakan batas kritis bagi mekanisme termoregulasi.Ternak kerbau merupakan ternak semiaquatic, dimana kerbau harus dimandikan atau berkubang untuk mendapatkan produktivitas yang optimal.Tingkah laku kerbau yang sering berkubang dikarenakan kondisi fisiologis kerbau yang memiliki pori-pori keringat yang lebih kecil dibandingkan sapi.

Sifat Biologis Reproduksi Ternak Kerbau
Kerbau mempunyai keistimewaantersendiri dibandingkan sapi, karena ternakini mampu hidup di kawasan yang relative ‘sulit’ terutama bila pakan yang tersediaberkualitas sangat rendah. Dalam kondisikualitas pakan yang tersedia relatif kurangbaik, setidaknya pertumbuhan kerbau dapatmenyamai atau justru lebih baikdibandingkan sapi, dan masih dapatberkembang biak dengan baik.
Produktivitas kerbau dalam beberapa hallebih rendah dibandingkan sapi terkait dengansifat-sifat biologis yang dimilikinya.Berikut merupakan data mengenai beberapa informasi sifat biologis ternak kerbau dengan pola pemeliharaan ekstensif (Tabel 2).

Tabel 2 Beberapa informasi sifat biologis ternak kerbau dengan pola pemeliharaan
ekstensif

Sifat biologis
Keterangan
Umur beranak pertama
3.5 – 4 tahun
Lama kebuntingan
11 – 12 bulan
Jarak beranak
20 – 24 bulan
Pertambahan bobot badan
0.3 – 0.9 kg per hari
Presentase karkas
< 50%
Estrus
Tanda-tanda lemah dan relative tenang (silent heat)
Anestrus
Bermusim
Postpartum anestrus
Panjang
Posisi vagina
Bagian depan lebih rendah dibanding belakang, waktu birahi cairan tidak keluar
Libido pejantan musim kemarau
Menurun drastic
Perkawinan tidak terkontrol
Meningkatnya inbreeding

Tabel  3Perbandingan Sifat-sifat Reproduksi Kerbau Rawa dan Kerbau Murrah
Sifat-sifat reproduksi
Bangsa Kerbau
Kerbau Rawa
Kerbau Sungai
Umur kawin pertama (tahun)
2.50 (1.6 – 3.0)
-
Lama bunting (hari)
315 – 335
308 – 314
Umur beranak pertama (tahun)
4.30 (3.0 – 6.0)
4.00 – 4.30
Siklus berahi (hari)
20 – 28
22 – 37
Lama berahi (jam)
12 – 36
24 – 48
Angka kelahiran (%)
30 – 60
-
Selang beranak (tahun)
1.50 – 2.00
-
Servis perconseption *
1.60 – 2.00
1.40 – 2.10
Angka kebuntingan*
a. Secara alami
b. Inseminasi buatan

63.20
57.90
36.00 – 82.00


Sumber : Chantalakhana 1980   *) Toelihere 1981 dalam Busono (1993)

Perkembangan Populasi Kerbau di Indonesia
FAO (2010) menyatakan jumlah kerbau di seluruhdunia ada 158 juta ekor, 97% dari jumlah tersebut(sekitar 153 juta) berada di Asia, sisanya tersebar diAfrika Utara, Eropa Selatan, Amerika Selatan danAustralia. Dari populasi kerbau di Asia, 50% berada diIndia. Jumlah kerbau di Australia saat ini sekitar350.000 yang berkembang sebagai kerbau liar diwilayah genangan banjir di Arnhem dan Katherine danpernah diekspor ke Indonesia sekitar tahun 1980-anpadahal kerbau ini berasal dari Indonesia yangdimasukkan pada awal abad ke-19. Kerbau liar masihada di Indonesia diantaranya di Taman NasionalBaluran.
Di Indonesia, populasi kerbau saat ini sekitar 2.2juta ekor (Ditjennak2009). Kerbau merupakansumberdaya genetik ternak lokal yang kontribusinyadalam program swasembada daging mulai diakui padatahun 2010.Sentra-sentra produksi ternak sapi yangmenjadi andalan program PSDSK awalnya adalahsentra-sentra produksi ternak kerbau.Introduksi sapiBali pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20,menyebabkan semakin terdesaknya perkembanganternak kerbau.Perkembangan sapi tersebut mencapaipuncak sebagai pemasok utama ternak konsumendomestik maupun ekspor.Populasi kerbau mencapaipuncaknya sekitar tahun 1925, dengan populasi di Jawa 3.227 juta ekor dan di luar Jawa 1.10 juta ekor.Selanjutnya, populai kerbau terus menurun sampai saatini. Sebab-sebab penurunan populasi cukup kompleksantara lain terkait dengan daya reproduksi, basisekologis lahan, penyakit maupun kelembagaanpengelolaannya serta dukungan kebijakanpengembangannya.Berikut merupakan data pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia tahun 1925 – 2009 (Tabel 4).

Tabel 4 Pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia tahun 1925 – 2009
Tahun
Populasi Kerbau (ekor)
Pertumbuhan populasikerbau (%)/tahun
1925
3.227.000
-
1969
2.490.000
- 0.50
1979
2.432.000
- 0.23
1989
3.244.000
3.33
1999
2.859.000
- 1.19
2005
2.128.491
- 4.26
2008
1.930.000
- 3.11
2009
2.046.000
6.01
Sumber: Ditjennak 2010


PEMBAHASAN

Masalah Pengembangan Kerbau di Indonesia
Faktor penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau dapat disebabkan faktor internal dan faktor eksternal.Salah satu faktor internal adalah masalah efisiensi reproduksi dan gangguan reproduksi yang umum terjadi pada ternak ruminansia.Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untukmenghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggidisertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksiyang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bilaefisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggirendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l)angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3)jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angkaperkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran(calving rate) (Hardjopranjoto 1995).
Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan,keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnyacalving interval, dan lain-lain (Fahimuddin 1975). Menurut Cockrill (1974), KerbauRawa mampu menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya dan dapat hidupsampai 25 tahun.

Pubertas.Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umuratau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi.Pubertas pada hewan jantan ditandai dengankemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma serta perubahan-perubahankelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai denganterjadinya estrus dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikanukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere 1981).
Hasil penelitian Lendhanie (2005) menyatakan bahwa umur pubertas KerbauRawa tidak diketahui dengan pasti.Meskipun demikian, berdasarkan umur kelahiranpertama yaitu 3-4 tahun diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun.Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamindengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan.Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu : umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruhialah faktor lingkungan yaitu: suhu, musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyaipengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkankarena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidupproduktif ternak(Tomaszewska et al l99l). Pada ternak kerbau, umur pubertas yang lambat menyebabkan masa produktif tidak panjang sehingga peningkatan populasi sulit tercapai.

Siklus berahi, lama berahi dan berahi tenang. Berahi adalah saat hewan betina bersediamenerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahiberikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkankebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertamasampai penolakan terakhir (McNitt 1983).Mongkopunya (1980) menjelaskan bahwa lama berahi Kerbau Rawa adalah32 jam. Kerbau Rawa Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipinasiklus berahi Kerbau Rawa selama 20 hari (Guzman 1980).Umumnya berahi pada kerbau terjadi pada saat menjelang malam sampai agak malam dan menjelang pagi atau saat subuh atau lebih pagi (Toelihere 2001). Hal ini menyebabkan sulitnya pendeteksian birahi pada kerbau.
Tanda-tanda berahi pada kerbau umumnya tidak tampak jelas. Gejala berahi tidakmuncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid sertalama berahi menjadi pendek (dari 11.9 jam menjadi 6.1 jam) (Cockrill. 1974). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. 

Umur kawin pertama.Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkansampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh)untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal.Hal ini karena dewasa kelamin terjadisebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981).Umur kerbau betina pada konsepsipertama berbeda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan,dan genetik.Umur kawin pertama Kerbau Rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2.3 tahun (Fahimuddin 1975).Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternakkerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahunatau lebih lama dibanding sapi.

Angka kebuntingan.Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalahpersentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik padasapi dara maupun pada sapi laktasi.Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tigafaktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi.Angkakebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada 40-60 hari setelah inseminasi (Toelihere 1981). Menurut Fahimuddin (1975), conception ratedipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain.Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggidaripada kerbau.

Lama bunting. Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300 – 334 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Lama bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja lama bunting kerbau di Mesir bervariasi dari 325 sampai 330 hari. Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto 2010). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan system pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

Calf crop.Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidupdalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf cropyang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin,nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib 1988). Rata-rata calf crop kerbau diIndonesia sangat rendah yaitu 33%.

Selain masalah efisiensi reproduksi, faktor internal lain penyebab terhambatnya perkembangan ternak kerbau di Indoneisa adalah adanya gangguan reproduksi.Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya ganguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik).Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal.Beberapa kasus gangguan fungsional adalah sista ovary, hipofungsi ovary, dan corpus luteum persistent.

·         Sista Ovarium (follikuler, luteal dan korpus luteal)
Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak.Sebab dasar dari kejadian.sistik ovari adalah kegagalan, hypofise melepaskan sejumlah luitenizing hormon (LH), sebanyak yang dibutuhkan untuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum (Roberts, 1971).
Roberts (1971) menyebutkan, sistik ovari dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: sistik folikel atau sistik degenerasi dari folikel de Graaf, sistik luteal dan sistik korpus luteum. Sistik folikel dan sistik luteal adalah sistik anovulatorik, terjadi pada folikel yang belum ovulasi, sedangkan sistik korpus luteum adalah sistik ovulatorik atau yang telah mengalami ovulasi.Sistik folikel adalahfolikel yang berisi cairan sistik, menetap pada ovarium selama 10 hari atau lebih, dengan.diameter lebih besar dari 2.5 cm. Tanda karakteristik umumnya adalah nimphomania (berahi terus-menerus), tetapi kadang-kadang dijumpai juga gejala anestrus (tidak berahi). Sistik luteal adalah sistik pada folikel, dengan diameter lebih besar dari 2.5 cm, sebagian, terluteinisasi dan akan menetap dalam suatu periode yang lama, umumnya ditandai dengan gejala an,estrus. Sistikkorpus luteum terjadi mengikuti ovulasi yang normal, tatapi mengadun,g rongga sen,tral berdiameter 7 - 10 mm dan berisi cairan sistik.
Adanya sista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari.Akibatnya sapi –sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus).
Roberts (1971) menyatakan, bahwa sistik folikel dan sistik luteal bersifat patologik karena menyebabkan terganggunya proses reproduksi, konsepsi tidak berlangsung disebabkan ovulasi tidak terjadi. Sedangkan kebanyakan sistik korpus luteum tidak mempengaruhi konsepsi, karena ovulasi telah terjadi.Disamping i tu tenunan luteal yang terbentuk pada sistik korpus luteum masih dapat menghasilkan progesterone untuk menjaga dan memelihara kebuntingan.Atas dasar ini sistik korpus luteum dinyatakan tidak patologik dan para ahli membatasi sistik ovari pada bentuk folikuler saja.

·         Hipofungsi ovarium
Hipofungsi ovary adalah salah satu penyakit yang banyak timbul pada sapi perah dengan gejala klinis : anestrus, apabila dilakuan palpasi rektal ovarium yang kurang aktif, terasa licin, tidak ada penonjolan folikel atau korpus luteum dan ukuran ovariumnya normal. Kemudian sekresi hormon yang dihasilkan ovarium seperti hormon progesteron dan estrogen sangat rendah, sehingga mengakibatkan tidak terjadinya berahi dan kopulasi (Sirojudin 2000). Ternak yang memiliki riwayat dari peternak tidak pernah estrus dan saat dilakukan palpasi teraba folikel yang kecil serta licin, maka akan ditangani sebagai kasus hipofungsi ovarium.
Hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan reproduksi pada sapi perah apabila ditinjau dari produksi susu yang tinggi dan kondisi pakan yang buruk (Pemayun 2009). Menurut Hafez (2000), anestrus akibat hipofungsi ovarium  sering berhubungan dengan gagalnya sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus-pituitaria-ovarium yang akan menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin  sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan.
Kasus hipofungsi ovarium umumnya disebabkan oleh kualitas pakan yang rendah sehingga tidak ada rangsangan aktivitas terhadap ovarium.  Kekurangan vitamin A dan mineral yang penting seperti P dan Mn serta protein dapat menyebabkan pubertas sapi menjadi lambat dan melemahnya gejala berahi atau sama sekali tidak berahi. Selain faktor genetis dan keadaan stress penyakit kronis juga dapat memicu terjadinya kasus ini (Subronto 1985).

·         Korpus Luteum Persistent
Korpus luteum persistent adalah kondisi dimana korpus luteum yang mempunyai ukuran yang besar tetap menetap dan berfungsi menghasilkan progesterone dalam waktu yang lama.Tertahannya korpus luteum seringkali terjadi karena adanya penyakit atau gangguan pada uterus seperti pyometra, maserasi fetus dan mumifikasi fetus.  Ternak yang menderita korpus luteum persistent mempunyai kadar progesterone yang tinggi didalam darah.  Keadaan ini mengakibatkan terjadinya mekanisme feedback negative terhadap kelenjar hipofisa anterior sehingga sekresi hormone FSH dan LH dihambat sehingga tidak terjadi pertumbuhan folikel pada ovarium tidak tumbuhnya folikel baru pada oarium menyebabkan tidak dapat disekresikannya hormone estrogen sehingga terjadi kondisi  anestrus (Listiani 2005).

Upaya Mengatasi Problematika Pengembangan Ternak Kerbau
Banyak faktor yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau. Namun yang bisa dilakukan melalui efisiensi reproduksi adalah:
1.      Melakukan seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan, terutama pada kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor betina dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang genetikanya baik. Pada saat ini justru kerbau betina atau jantan yang tampilannya lebih besar adalah yang paling cepat masuk rumah potong. Peran pemerintah disini melakukan penjaringan agar fenomena yang sudah lama terjadi ini bisa dihentikan minimal dikurangi.
2.      Mengembangkan program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang  padat populasi kerbaunya. Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk mengatasi terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat dipertanggungjawabkan (Subiyanto2010) Peran pemerintah harus mengaktifkan kembali produksi mani beku kerbau di Balai-Balai Inseminasi Buatan. Dengan Inseminasi Buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
3.      Peningkatan pendidikan inseminator. Inseminator Buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang saat berahinya sulit diamati. Meskipun demikian bila kita mau kita bisa. Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa tahun yang lalu pada sapi potong, yang pada saat itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi potong karena sapi potong terutama sapi lokal juga memperlihatkan berahi tenang. Pada saat ini dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para inseminator, inseminasi buatan pada sapi potong sudah biasa dilakukan dengan prestasi yang baik.
4.      Meningkatkat jumlah tenaga medic veterinerterkait pendeteksian serta pengobatan beberapa gangguan fungsional organ reproduksi.
5.      Memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama peternakan mengenai pengetahuan tentang pendeteksian gejala estrus atau birahi pada ternaknya.

KESIMPULAN

Pengembangan ternak kerbau di Indonesia mengalami hambatan dikarenakan oleh beberapa sebab. Ditinjau dari aspek reproduksi, hambatan pengembangan tersebut dapat dilihat dari masalah efisiensi reproduksi dan gangguan reproduksi yang umum terjadi pada ternak ruminansia yaitu
1.      Waktu pubertas, lama birahi, birahi tenang, umur kawin pertama, angka kebuntingan, lama bunting dan calf crop dari aspek efisiensi reproduksi
2.      Sista ovari, hipofungsi ovary dan korpus luteum persisten dari aspek gangguan fungional organ reproduksi.

Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan pengembangan ternak kerbau di Indonesia adalah sebagai berikut;
1.      Melakukan seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan.
2.      Mengembangkan program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang  padat populasi kerbaunya.
3.      Peningkatan pendidikan inseminator.
4.      Meningkatkat jumlah tenaga medic veteriner.
5.      Memberikan penyuluhan kepada peternakan mengenai pengetahuan tentang pendeteksian gejala estrus.


DAFTAR PUSTAKA

Busono W. 1993. Pengaruh beban kerja dan pakan tambahan terhadap perubahan bobot badan dan beberapa aktifitas reproduksi kerbau lumpur betina (Bubalus bubalis). Disertasi. Program Pasca sarjana IPB, Bogor
Chantalakhana C . 1981. A Scope on buffalo breeding. Buffalo Buletin. 4(4):224-
242.
Cockrill W. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo: The BuffalO of Indonesia. Food and Agriculture Organization of The United Nations,Rome.
Departemen Pertanian. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan,Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2008. DirektoratJenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Informasi Lokasi PSDSK. HumasDirektorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan . 2010. Petunjuk Teknis PengembanganPembibitan Kerbau. Direktorat Perbibitan DirektoratJenderal Peternakan, Jakarta.
[Ditkeswan] Direktorat Jenderal Peternakandan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman TeknisPengembangan Perbibitan KerbauTahun 2012. Jakarta
Diwyanto K,  H. Handiwirawan. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau:
Aspek penjaringan dan distribusi.Prosiding lokakarya nasional usaha ternakkerbau mendukung program kecukupan daging sapi.Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor.
Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo.Oxford and IBH Publishing. Co. GG Joupath, New Delhi.
FAO. 2010. Food and Agriculture Organization of the UnitedNation (FAO) & 2008 Production Year book.
Guzman MR. 1980. An overview of recent development in buffalo research andmanagement in Asia. Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC,Taipei.
Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in Farm Animals”.Hafez  ( 7 th ed.). Lippincott William & Wilkins.A Wolter Kluwer Company.
Hardjopranjoto S. 1991. Permasalahan reproduksi pada sapi potong. Prosidingseminar nasional sapi potong di Indonesia. Dewan Pimpinan PusatPerhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau lndonesia, Bandar Lampung.
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press,Surabaya.
Hasinah H,  Handiwirawan. 2006. Keragaman ganetik ternak kerbau diIndonesia. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukungprogram kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor.
Keman S. 2006. Reproduksi Ternak Kerbau. Menyongsong Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010. Pros. Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Lendhanie U U. 2005. Karakteristik reproduksi kerbau rawa dalam kondisilingkungan peternakan rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1.Januari:43-48.
Listiani D. 2005. Pemberian PGF2α Pada Sapi Peranakan Ongole Yang Mengalami Gangguan Kospus Luteum Persistent [Tesis] Program Studi Magister Ilmu Ternak Proogram Pasca Sarjana Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro
Mason I L. 1974. Species, types and breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The
Husbandry and Health of Domestic Buffalo. Food and AgricultureOrganization of The United Nations, Rome.
McNitt. 1983. Livestock Husbandry Techniques. Granada Publishing, New York.
Mongkopunya K. 1980. Reproductive Failures in Swamp Buffaloes in Thailand.Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC, Taipei.
Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran VeterinerInstitut Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta.
Pemayun TGO. 2009. Induksi estrus dengan PMSG dan GNRH pada sapi perah anestrus postpartum. [terhubung berkala]. http://www.bulletinveteriner.com. [25 Sepetember 2013]
Sirojudin D. 2000. Teknik massage ovary dan penggunaan potahormon pada kasus hipofungsi ovarium sapi perah. [abstrak]. Program Sarjana.Institut Pertanian Bogor.
Subiyanto. 2010. Populasi Kerbau Semakin Menurun. [Terhubung berkala] http:/www.ditjennak.go.id/bulletin/artikel3.pdf [02 Desember 2013]
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjahmada University Press, Jogyakarta
Storer T, Robert C, Ftebruf, Robert L, Usang, James W, Nybaken. 1971.General Zoology. Mc Grewhill Book Company, New York.
Talib C. 1988. Produksi induk Sapi PO dan keturunannya. Tesis. FakultasPascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere MR. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere MR. 2001. Potensi dan pengembangan kerbau di Indonesia. Suatu tinjauan reproduksi. Workshop kebijakan ketahanan pangan kerbau sebagai sumber keanekaragaman protein hewani. Kerjasama Puslitbang Peternakan dan Dinas  Pertanian Peternakan Provinsi Banten, Cilegon.
Tomaszewska MW, IK Sutama, IG Putu, Thamrin DC. 1991.Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT GramediaPustaka Utama Jakarta.